Jumat, 14 Januari 2011

DeKaVe Mati Suri?


Menilik tema ‘Culture X-pansion’ yang diusung Panitia Diskomfest #4 Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, muncul kegelisahan yang membuncah dalam sanubari saya. Kegalauan itu bersumber pada pertanyaan besar, apakah budaya lokal Indonesia sudah bergeser dari porosnya? Apakah keberadaan DeKaVe (Desain Komunikasi Visual) menjadi salah satu pemicu lengsernya budaya lokal dari haribaan Ibu Pertiwi? Apakah nafas kehidupan DeKaVe sudah berhenti dalam pengertian yang sebenarnya?

Berdasarkan pertanyaan besar yang berkelindan di atas, ditengarai proses anggitan karya DeKaVe sedang mati suri untuk tidak mengatakan DeKaVe tewas! Kenapa demikian? Karena posisi DeKaVe Indonesia di tengah percaturan karya DeKaVe di kawasan Asia Tenggara menempati ranking paling bontot. Karya DeKaVe Indonesia jauh tertinggal dari sisi kreativitas, daya ungkap, aplikasi media, dan konsep pemecahan masalah komunikasi visual. Semuanya itu mengkristal akibat dosa asal kita yang senantiasa membanggakan diri menjadi ‘tukang desain’ bukan pemikir desain. Cara berpikir seperti itu membawa konsekuensi logis pada pendekatan, bentuk, dan isi pesan verbal-visual DeKaVe Indonesia.

Terhadap sinyalemen semacam itu, lalu bagaimana sikap pemikir dan praktisi DeKaVe Indonesia, khususnya Yogyakarta dalam menyikapinya? Jawabannya, sebagian besar pemikir dan praktisi DeKaVe Indonesia mengakui fenomena semacam itu. Bahkan ada yang berkomentar secara ekstrim bahwa DeKaVe Indonesia tengah dilanda krisis kreativitas dan akan berujung pada wafatnya DeKaVe Indonesia.